BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Karakter bangsa tidak
bisa terlepas dari nilai – nilai budaya. Budaya didefinisikan sebagai seluruh
aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar,
termasuk pikiran dan tingkah laku (Marvins, 1999). Begitu juga dengan yang
dikatakan oleh Parsudi Suparlan (1981) bahwa budaya adalah keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan
memahami lingkungan yang dihadapi, dan untuk menciptakan dan mendorong
terwujudnya kelakuan.
Dalam konteks
keberagaman suku dan budaya, setiap wilayah provinsi di Indonesia tentunya
memiliki ciri khas suku dan kebudayaan masing – masing. Salah satunya adalah
Sulawesi Selatan yang merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di
bagian selatan pulau Sulawesi dengan Kota Makassar sebagai ibu kota. Secara
umum terdapat empat suku bangsa di provinsi Sulawesi Selatan ini yakni Suku
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, dimana dalam lingkup Kota Makassar, Suku Bugis
dan Makassar lebih dominan jika dibandingkan dengan Suku Mandar dan Toraja.
Etnis Bugis dan etnis
Makassar adalah dua diantara empat etnis besar yang berada di Sulawesi Selatan.
Pada hakekatnya kebudayaan dan pandangan hidup orang Bugis pada umumnya sama
dan serasi dengan kebudayaan dan pandangan hidup orang Makassar. Membahas
tentang budaya Bugis sulit dilepaskan dengan pembahasan tentang budaya Makassar
karna pada hakekatnya apa yang berlaku dalam dunia manusia Bugis, berlaku pula
pada manusia Makassar. Oleh karna hal tersebut penulis tertarik untuk membahas
mengenai “Sosial Budaya Pangan dan Gizi
Suku Bugis Makassar”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah perkembangan suku Bugis Makassar
?
2.
Bagaimana struktur dan sistem sosial masyarakat
suku Bugis Makassar ?
3.
Bagaimana kebudayaan masyarakat suku Bugis
Makassar ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan suku
Bugis Makassar
2.
Untuk mengetahui struktur dan sistem sosial
masyarakat suku Bugis Makassar
3.
Untuk mengetahui kebudayaan masyarakat suku
Bugis Makassar
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Suku Bugis Makassar
1. Asal usul suku Bugis Makassar
Suku
bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku Melayu Deutero. Masuk ke nusantara
setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan. Kata
"Bugis" berasal dari kata To
Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat
di Pammana Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka
menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau
orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We
Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading
sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La
Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih
9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah
kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat
Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili,
Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Orang
Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah
didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah”
yang “naik” (tompo) untuk
membawa norma dan aturan sosial ke bumi 10. Umumnya orang-orang Bugis sangat
meyakini akan hal to manurung,
tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap
orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan
komunitasnya.
Masyarakat
Bugis pada awal perkembangannya sangat memegang tradisi, dari cara membentuk
kelompok, tempat pemukiman, makanan, pakaian, pemakaman, hingga pemberian
sesajen. Jika dilihat sejarah awalnya, orang Bugis belum mengetahui agama yang
dianutnya karena paham yang mereka gunakan sangat primitif, tetapi jika dilihat
dari cara penyajiannya mereka mendekati agama Hindu Budha. Masyarakat Bugis
juga dikenal sebagai pedagang yang unggul, terbukti dari hasil dagangannya
seperti neraca, perunggu di Selayar, kapak perunggu di ujung selatan
semenanjung Sulawesi Selatan serta berbagai patung Budha di Bantaeng dan Mandar
serta berbagai hasil perdagangan ekspor lainnya.
Pada
akhir millennium pertama masehi Sulawesi Selatan telah menjalani jaringan
perdagangan antar pulau selama berabad-abad. Namun demikian, penemuan keramik
Cina dari abad ke 10 pada situs – situs arkeologi menunjukkan adanya
intensifikasi atau orientasi baru dalam dunia perdagangan. Berhubung tidak
adanya rujukan yang jelas mengenai Sulawesi dalam sumber – sumber Cina, bahkan
tidak di sebut-sebut dalam catatan terkenal yang di sebut Chau-Ju-Kua tentang
produk dan jalur perdagangan Cina Selatan.11 Faktor ini bisa juga disebabkan
karena kurangnya peneliti sejarah Bugis yang meneliti secara ilmiah (tertulis).
Walaupun demikian, fakta membuktikan bahwa masyarakat Bugis memang sangat
menggeluti dunia perdagangan. Hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Bugis
hingga membentuk adat istiadat sesuai dengan kebiasaan yang digelutinya, maka
dari itu keras atau halus cara berbicara dan bertindak orang Bugis dilihat dari
wilayah dan kegiatan sehari – harinya (tempat mata pencahariannya).
Pekerjaan
yang digeluti oleh orang Bugis terutama bila mereka merantau ke daerah lain
adalah sebagai pedagang, saudagar, pengusaha, atau nama apa pun semacam itu dan
perantau adalah ciri yang melekat pada kebanyakan orang Bugis dan Makassar.
Hampir semua provinsi di nusantara ini bisa dipastikan ada orang asal Sulawesi
Selatan di situ dengan pekerjaan utama pedagang atau pengusaha. Terbukti saat
Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar awal November 2013 yang lalu, ratusan
perwakilan saudagar Bugis-Makassar yang berasal dari dalam dan luar negeri ikut
hadir.
Sejak
zaman dahulu, orang Bugis memang sudah kental dengan sifat perantau. Di
perantauan, mereka terkenal punya semangat juang dan semangat hidup lebih
besar. Dalam sejarahnya, sejak dulu hingga sekarang, biasanya begitu masuk di
suatu daerah mereka langsung menguasai pasar. Menguasai dalam arti berdagang.
Biasanya dari berdagang di pasar, mereka kemudian berdagang hasil bumi, bahkan
membeli tanah dan bertani atau berkebun. Setelah itu mereka mulai ke usaha lain
– lain.
Satu
hal yang membuat orang Bugis bisa diterima di mana saja dan akhirnya cukup mencolok
jika sudah berhasil di perantauan adalah semboyan "di mana tanah dipijak
di situ langit dijunjung”. Kalau orang Bugis sukses di perantauan, mereka akan
kaya dan membelanjakan uangnya di perantauan. Mereka membangun rumahnya juga di
rantau dan bukan di kampung. Kalaupun mereka menginvestasi di kampung, biasanya
hanya sedikit. Itu pun biasanya dalam bentuk membangun masjid, membangun rumah
orangtua, atau semacam itu. Orang Bugis biasanya berprinsip di mana mereka
merasa tenang dan nyaman hidup sekaligus berusaha, itulah yang dianggap tanah
mereka.
Kesemua
itu pula yang membuat Christian Pelras, seorang berkebangsaan Prancis, akhirnya
meneliti orang Bugis, bahkan membuat buku yang berjudul The Bugis. Padahal, awalnya Pelras mau melakukan penelitian
tentang budaya Melayu di Malaysia. "Orang Bugis sebenarnya bukan pelaut,
tetapi pedagang, yang lebih pantas di sebut pelaut adalah orang Mandar (suku di
Sulawesi Barat). Namun, yang kemudian membuat orang Bugis terkenal sebagai
pelaut karena dalam berdagang, mereka banyak menggunakan jalur laut. Mau tidak
mau agar sukses sebagai pedagang, mereka juga harus menguasai jalur laut.
Makanya mereka juga terkenal tangguh di laut," papar Pelras.
Hal
ini dibenarkan oleh Edward Palimbongang, pakar sejarah dari Universitas
Hasanuddin. Menurutnya, berbagai laporan dan catatan maupun dokumen di Belanda
banyak menyebut kehebatan perdagangan maritim dan Pelabuhan Makassar abad
ke-19. Orang Bugis – Makassar yang tinggal di desa – desa daerah pantai bermata
pencaharian mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan
luas. Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu-perahu
layar. Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, orang Bugis – Makassar
mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan Philipina.
Mereka
merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim
sejak abad ke 17. Orang Bugis Makassar juga telah mewarisi hukum niaga
pelayaran. Hukum ini disebut Ade‟allopiloping
Bicaranna Pabbalue ditulis oleh Amanna Gappa pada Lontara abad ke-17.
Sambil berlayar orang Bugis-Makassar mengembangkan perdagangan ke berbagai
tempat di Indonesia.
Selain
pertanian, penangkapan ikan, pelayaran,dan perdagangan, usaha kerajinan rumah
tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan. Tenunan sarung
sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba
adalah salah satu contohnya. Pada abad ke 17 saudagar – saudagar Bugis Makassar
sudah memiliki loji (tempat
untuk tinggal, berdagang, gudang, dan agen perwakilan) di Manila dan Makau.
Catatan sejarah membuktikan bahwa pedagang Bugis ternyata juga punya andil
dalam kemajuan Singapura. Buktinya, kampung pertama yang dibangun di pulau itu
adalah Kampung Bugis di daerah Gelam.
Sebenarnya
jika Indonesia dan rakyatnya ingin maju, bercermin pada sejarah dan pengalaman
masa lalu, terutama semangat juang dan kegigihan para pendahulu, bukanlah
sesuatu yang bodoh. Sayangnya, banyak keteladanan masa lalu yang kini mulai
pupus. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan
martabat. Suku Bugis sangat menghindari tindakan – tindakan yang mengakibatkan
turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga
melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh.
Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga
yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu
dan tentunya melanggar hukum.
Sedangkan
adat malu (siri‟) masih
dijunjung oleh kebanyakan masyarakat Bugis. Walaupun tidak seketat dulu, tapi
setidaknya masih diingat dan dipatuhi. Perubahan sosial yang terjadi terutama
menyangkut perubahan kebudayaan dan sistem tatanan daerah termasuk adat
istiadat yang berlaku disebabkan karena keinginan untuk mengetahui dunia luar
yang lebih maju. Hal – hal yang baru itu
biasanya didapat melalui perdagangan, dari cara berpakaian serta spritualnya
akan mengalami perubahan karena adanya agama baru yang masuk lebih mengarahkan
pada tatanan hidup yang lebih bermoril. Sehingga adat istiadat yang sebelumnya
kurang cocok dengan agama akan dihilangkan. Agama yang pada umumnya dianut oleh
masyarakat Bugis adalah agama Islam. Menurut Christian Pelras hal ini merupakan
peristiwa yang sangat penting. Orang Bugis bersama orang Aceh, Melayu, Banjar,
Sunda, Madura dan tentunya orang Makassar di anggap termasuk orang Indonesia
yang paling kuat dan teguh memeluk ajaran Islam. Hampir semua orang Bugis
memeluk agama Islam kecuali sekitar ratusan orang di kabupaten Soppeng yang
menganut agama Kristen dan komunitas “Tau
Lotang yang bermukim di Amparita Kabupaten Sidrap yang menganut
kepercayaan nenek moyang.
Salah
satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang.
Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu
kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini
terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19
km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah
ini adalah suku Bugis yang taat beribadah dan memegang teguh tradisi saling
menghormati dan tolong menolong. Di mana-mana dapat dengan mudah ditemui
bangunan masjid yang besar dan permanen.
Namun
terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut „Tau Lotang‟ yang berarti „Orang
Selatan‟. Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau
gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka,
agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu,
berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut
animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak
berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
Kabupaten
Sidrap terkenal dengan kehidupan seorang tokoh yang pernah hidup, seorang
cendekiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang
Rappang (Addatuang =
semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nene‟ Mallomo‟. Dia
bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam
tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah
tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu : Naiya ade‟e de‟nakkeambo, de‟to nakkeana. (Terjemahan
: sesungguhnya adat itu tidak mengenal bapak dan tidak mengenal anak). Kata
bijaksana itu dikeluarkan Nene‟ Mallomo‟ ketika dipanggil oleh Raja untuk
memutuskan hukuman kepada putera Nene‟ Mallomo yang mencuri peralatan bajak
tetangga sawahnya. Dalam Lontara‟ La
Toa, Nene‟ Mallomo‟ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar
lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Lalido, dan sebagainya.
Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nene‟ Mallomo‟ dalam
menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam
menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut Tudang Sipulung (Tudang
= Duduk, Sipulung =
Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang
dihadiri oleh para pallontara‟ (ahli
mengenai buku Lontara‟) dan tokoh – tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan
tudang sipulung yang pada
mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu‟mang sebelum tahun
1980, daerah – daerah lain pun sudah menerapkannya.
2. Awal kedatangan suku Bugis di Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Selatan adalah tempat asal dari suku Bugis yang dapat dilihat dari bahasa dan
adat istiadatnya. Bahkan saat ini suku Bugis ada pula yang merantau jauh hingga
ke luar negeri, yakni Malaysia, Singapura dan Filipina. Sejarah suku Bugis ada
kaitannya dengan sejarah orang Melayu yang masuk ke Nusantara setelah migrasi
pertama 3500 tahun lalu dari Yunan, China Selatan. Mereka ini termasuk dalam
suku Melayu Deutero atau muda yang berasal dari ras Malayan Mongoloid.
Berkembangnya adat istiadat suku Bugis ini lalu mengarah pada munculnya banyak
kerajaan seperti Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Sinjai, Barru dan masih banyak yang
lainnya. Saat ini semua kerajaan-kerajaan tersebut menjadi kabupaten, dimana
orang Bugis adalah penduduk mayoritas.
Suku Bugis memiliki adat istiadat yang unik. Pada tahun 1512
hingga 1515, ada sekitar lima puluh kerajaan yang mayoritas penduduknya
menyembah berhala atau menganut animisme-dinamisme. Hal tersebut dapat dilihat
pada tata cara penguburan orang Bugis. Saat itu mereka masih menguburkan orang
yang meninggal dengan tata cara jaman pra sejarah, yakni dengan mengarah ke
timur dan barat serta diberikan bekal seperti mangkuk, tempayan, tiram dan
barang buatan Cina serta benda berharga lainnya. Bahkan untuk para bangsawan
dan tokoh terkemuka pada wajahnya diberikan penutup muka yang terbuat dari emas
ataupun perak. Sebagai bukti bahwa mereka memiliki strata sosial yang tinggi di
masyarakat.
3. Asal usul suku Makassar
Suku
Makassar adalah nama Melayu untuk suku yang mendiami pesisir selatan pulau
Sulawesi. Orang Makassar menyebutnya Mangkasara
berarti mereka yang bersifat terbuka. Etnis Makassar ini adalah etnis yang
berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di
laut. Adapun bahasa Makassar juga disebut sebagai bahasa Makassar atau Mangkasara yaitu bahasa yang
dituturkan oleh suku Makassar penduduk Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis dan
Makassar memiliki aksara sendiri, di kenal adanya pemakaian huruf spesifik yang
di sebut huruf Ogi Mangkasara atau
sering di sebut huruf lontara‟,
namun sekarang banyak di tulis dengan menggunakan huruf latin. Dikalangan orang
Makassar terdapat bermacam – macam keterangan tentang arti lontara‟, antara lain :
§ Kata lontara berasal
dari nama jenis pohon yang di sebut pohon lontara (pohon lontar). Daunnya di sebut daun lontara. Daun
lontara itu dahulu oleh orang-orang Bugis dijadikan sebagai alat tulis yaitu
tempat mencatatkan semua peristiwa-peristiwa dan pandangan-pandangan penting
yang pernah dialami dan dikemukakan oleh orang-orang Bugis. Jadi lontara‟ ialah catatan – catatan yang
di tulis orang Bugis pada waktu yang telah lampau.
§ Lontara ialah
catatan – catatan yang di tulis di atas daun lontar dengan menggunakan alat – alat
tajam. Keterangan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Mattulada bahwa lontara‟ itu adalah catatan – catatan
yang aslinya di tulis di atas daun lontar dengan menggunakan alat tajam,
kemudian dibubuhi warna hitam pada bekas – bekas guratan tanda tajam itu. Tanda – tanda bunyi yang dipergunakan
disebut juga huruf lontara.
4. Awal kedatangan suku Makassar di Sulawesi
Selatan
Suku
asli Makassar ada di Kabupaten Gowa. Dahulu Gowa adalah sebuah kerajaan besar
yang mempunyai banyak daerah kekuasaan. Kejayaan kerajaan Gowa dicapai pada
masa pemerintahan Sultan Hasanuddin yang sering digelari “ayam jantan dari
timur”. Kekuasaannya mencapai Afrika Selatan dan Brunei Darussalam. Namun pada
masa penjajahan kerajaan Gowa mengalami kekalahan melawan Belanda dan kerajaan
Bone pada masa itu, sehingga menyebabkan banyak kekacauan dan kerugian besar
bagi masyarakat Gowa.
Orang
Makassar memiliki karakter yang terbuka, dan spontan dalam menghadapi sesuatu
persoalan. Selain itu mereka termasuk orang yang mudah bergaul, walau pun
kadang – kadang mengucapkan kata yang cenderung kasar (menurut kelompok suku
lain), tetapi mereka adalah orang – orang yang setia dalam persahabatan.
Pada
masa lalu pernah berdiri suatu kerajaan besar bernama Kerajaan Gowa di tanah
Makassar, sekitar abad 14 sampai 17. Kerajaan Gowa ini memiliki armada laut
yang mampu menjelajah ke luar wilayah Sulawesi, sampai ke beberapa daerah lain
di kepulauan Indonesia.
Sejarah
asal – usul suku Makassar masih memiliki hubungan kerabat dengan suku Bugis.
Menurut cerita, bahwa pada awalnya, suku Makassar dan suku Bugis hidup sebagai
satu kesatuan suku bangsa. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, mereka
terpisah dengan membentuk kelompok suku sendiri – sendiri. Sejak beberapa abad
yang lalu masyarakat suku Makassar telah mengenal agama Islam, mayoritas orang
Makassar adalah beragama Islam. Sejak mereka memeluk Islam segala bentuk
kepercayaan agama purba mereka pun ditinggalkan.
Agama Islam telah hadir
di kalangan masyarakat orang Makassar sejak berabad – abad yang lalu. Mereka
adalah penganut Islam yang kuat. Agama Islam menjadi agama rakyat bagi suku
Makassar, sehingga beberapa tradisi adat dan budaya serta dalam kehidupan
sehari – hari suku Makassar banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya yang
mengandung unsur Islami.
Masyarakat suku Makasar
saat ini adalah masyarakat perkotaan, karena komunitas masyarakat suku Makassar
terkonsentrasi di kota – kota. Mereka berprofesi di segala bidang mulai dari
petani, nelayan, pengusaha, pedagang, guru dan berbagai bidang di sektor
pemerintahan dan sektor swasta.
Tahun 1542,
Antonio de Paiva seorang petualang Portugis mendarat di Siang, sebuah kerajaan
tua di pesisir selatan Makassar. De Paiva menyatakan ketika mendarat ia telah
bertemu orang Melayu di Siang. Mereka mendiami perkampungan Melayu dengan
susunan masyarakat yang teratur sejak 1490. Manuel Pinto yang mengunjungi Siang
pada tahun 1545, menyatakan bahwa orang Melayu di Siang berjumlah sekitar
40.000 jiwa. Pada zaman pemerintahan Karaeng Tumaparisi Kallonna (1500 – 1545),
orang Melayu sudah mendirikan pemukiman di Mangallekana, sebelah utara Somba
Opu ibu kota kerajaan Gowa. Pada masa Karaeng Tunipallangga, orang Melayu
mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap raja Gowa agar Mangallekana diberi hak
otonomi.
Sejak
kedatangan orang Melayu ke kerajan Gowa, peranannya tidak hanya sebagai
pedagang dan ulama, tetapi juga memengaruhi kehidupan sosial dan politik
kerajaan. Besarnya jumlah dan peranan orang Melayu di kerajaan Gowa,
menyebabkan raja Gowa XII Karaeng Tunijallo (1565 – 1590)
membangun sebuah mesjid di Mangallekana untuk orang Melayu, sekalipun raja
belum memeluk Islam Dalam struktur kekuasaan kerajaan Gowa, banyak orang Melayu
memegang peranan penting di istana kerajaan. Pada masa pemerintahan raja Gowa X
(1546 – 1565), seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajau, Daeng Ri
Mangallekana diangkat sebagai syahbandar kerajaan. Sejak saat itu secara turun
temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu. Jabatan penting lainnya
ialah sebagai juru tulis istana. Pada masa Sultan Hasanuddin (1653 – 1669),
seorang Melayu Incik Amin menjadi juru tulis istana sekaligus penyair.
Beberapa
sumber menyatakan bahwa sampai tahun 1615, roda perekonomian Sulawesi khususnya
perdagangan antar pulau yang melalui pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang
Johor dan Pattani. Orang Melayu yang sudah bermukim di Sulawesi sejak
berabad-abad lalu tetap memiliki hubungan dagang dengan negeri asalnya di tanah
semenanjung dan kepulauan Riau. Sejak tahun 1511, pedagang Melayu telah membawa
beras dari Sulawesi ke Malaka. Barulah pada tahun 1621, di bawah kekuasaan
Daeng Manrabia Sultan Alauddin (1593-1639), orang Bugis mulai turut mengambil
bagian yang penting di dunia perdagangan dan pelayaran nusantara.
Di Makassar
terjadi perkawinan antara orang Pattani dengan Minngkabau, yang ditandai dengan
perkawinan Tuan Aminah, putri Leang Abdul Kadir dengan Tuan Rajja, putra Datuk
Makotta. Perkawinan ini biasa diberi gelar incek. Kemudian terjadi pula perkawinan antara orang Melayu
dengan orang Bajau, yang diberi gelar kare.
Perkawinan antara kare dan incek, melahirkan generasi masyarakat
Melayu
– Bugis yang dikenal dengan sebutan tubaji
(bahasa Makassar) dan tudeceng (bahasa
Bugis).
Sepanjang kurang lebih
150 tahun telah terjadi perkawinan campuran di antara para bangsawan Bugis – Makassar
dengan orang-orang Melayu. Keturunannya tidak lagi menyebut diri sebagai orang
Melayu, melainkan menyebut diri mereka juga sebagai orang Bugis atau orang
Makassar.
B.
Struktur
Dan Sistem Sosial Masyarakat Suku Bugis Makassar
1. Struktur Sosial
Menurut
Mattulada struktur sosial masyarakat Bugis tampaknya mengikuti pandangan
tradisional yang berkembang dikalangan mereka bahwa asal-usul manusia Bugis
berasal dari tiga alam yang berbeda. Ketiga sumber yang menjadi asal – usul
manusia Bugis adalah langit sebagai representasi dunia atas (botinglangi), bumi sebagai
representasi dunia (ale – kawa)
dan uluriu sebagai representasi dunia bawah (paratiwi). Berdasarkan asal-usul manusia inilah maka dikalangan
masyarakat terdapat lapisan-lapisan sosial sebagai konsekuensi dari pandangan
tradisional mengenai asal – usul manusia tersebut. Orang yang diyakini dari
keturunan dunia atas menjadi golongan arung.
Ia ditakdirkan menjadi pemikir dan pemimpin masyarakat. adapun orang-orang yang
diyakini berasal dari keturunan dunia bawah menjadi golongan masyarakat yang
dikategorikan sebagai budak (Bugis = ata).
Umumnya masyarakat Bugis menghormati orang yang berdarah biru
(keturunan bangsawan) karena menurut mereka orang yang berdarah biru adalah
keturunan raja yang memerintah di masa kerajaan. Meskipun sekarang telah
terjadi pergeseran karena perubahan pandangan tentang sesuatu yang dihargai
oleh masyarakat untuk menentukan strata sosial seseorang tidak hanya melihat
faktor keturunan tetapi hal lain dari itu misalnya materi, pekerjaan (PNS atau
pegawai BUMN) maupun tingkat pendidikan (gelar kesarjanaan). Permulaan abad ke 20
lapisan ata mulai hilang karena
desakan agama, begitu juga anak‟arung atau
to-maradeka. Gelar anak arung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai, tidak
mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam
sistem birokrasi kepegawaian.
Masyarakat Bugis yang tinggal di desa-desa di suatu kabupaten
merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama, yang
disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas sejumlah
keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu biasanya
terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai,
diusahakan membangun rumah membelakangi sungai. Pusat kampung lama ditandai
dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (posi‟ tana).
Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo‟, toddo‟).
Kepala kampung dibantu oleh sariang dan
parennung. Gabungan kampung
dalam struktur asli di sebut wanua,
pa‟rasangan atau bori.‟
Pemimpin wanua oleh orang Bugis
dinamakan arung palili atau sulewatang (orangnya di sapa dengan petta sulewatang), orang Makassar
menyebutnya gallarang atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan
sekarang wanua sama dengan
kecamatan.
2. Relasi Sosial
Hubungan
atau relasi sosial di dalam masyarakat bermacam – macam dan terus terjadi dan
terjalin terus – menerus. Salah satu bentuk relasi tersebut adalah patron dan
klien (patronage). Secara
etimologi istilah „patron‟ berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang berarti
„seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh‟. Sedangkan
klien berarti „bawahan‟ atau orang yang diperintah dan yang disuruh.
Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok
komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan,
maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih
rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior, atau
dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk
membantu klien-kliennya. Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut
sebagai hubungan bapak-anak buah, di mana bapak mengumpulkan kekuasaan dan
pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar atau extended family Setelah itu, bapak
harus siap menyebar luaskan tanggung jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak
buahnya tersebut secara personal, tidak ideologis dan pada dasarnya juga tidak
politis. Pada tahap selanjutnya, klien membalas dengan menawarkan dukungan umum
dan bantuan kepada patron adalah suatu hubungan interaksi antar anggota
masyarakat yang melibatkan persahabatan instrumental.
Patron
merupakan suatu strata yang lebih tinggi baik itu dari segi kedudukan ekonomi
maupun sumber daya lain yang seakan memberikan segi keuntungan atau
perlindungan atau keduanya kepada orang yang lebih rendah kedudukan atau klien.
James
Scott mengungkapkan pemahamannya tentang hubungan patron – klien, sebagaimana
berikut “Relationship in which an
individual of higher socio – economis status (patron) uses his own influence
and resources to provide protection or benefits or both, for a person of a
lower status (client) who for his part reciprocates by offering general support
and assistance, including personal service, to the person” (suatu kasus khusus hubungan antar dua orang yang sebagian
besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seseorang yang lebih tinggi
kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang
dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atas kedua-duanya
kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien). Hingga kemudian giliran
klien membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan
bantuan termasuk jasa – jasa pribadi kepada patron”.
Jadi, yang dimaksud dengan hubungan patron – klien adalah sebuah
hubungan kerja sama atau timbal balik yang dilakukan oleh individu ataupun
kelompok yang didasarkan atas perasaan saling membutuhkan antara Patron (pemberi) dan Klien (penerima). Budaya patronase
atau patron-klien merupakan sebuah ciri khas dari mozaik kebudayaan di
nusantara. Patron klien sebagai sebuah budaya yang bersifat emosional
dan berkelanjutan yang dianut oleh sebagian besar penduduk nusantara. Budaya
ini mendapat perhatian serius dari para antropolog karena masih bertahan sampai
saat ini. Patron dan klien adalah suatu hubungan interaksi antar anggota
masyarakat yang melibatkan persahabatan instrumental. Patron merupakan suatu
strata yang lebih tinggi baik itu dari segi kedudukan ekonomi maupun sumber
daya lain yang seakan memberikan segi keuntungan atau perlindungan atau
keduanya kepada orang yang lebih rendah kedudukan atau klien.
Pendapat yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Pelras seorang
ahli berkebangsaan Prancis, berpendapat bahwa hubungan patron-klien adalah
suatu hubungan yang tidak setara, terjalin secara perorangan antara seorang
pemuka masyarakat dengan sejumlah pengikutnya. Lebih lanjut, Pelras
mengungkapkan bahwa hubungan semacam ini terjalin berdasarkan atas pertukaran
jasa, dimana ketergantungan klien kepada patronnya dibayarkan atau dibalas oleh
patron dengan cara memberikan perlindungan kepada kliennya. Ikatan antara
patron-klien ini merupakan kunci dalam masyarakat Bugis – Makasar di Sulawesi
Selatan. Hubungan ini dikenal dengan nama “minawang”. Hubungan tersebut di kalangan orang Bugis dapat
terjadi antara ajjoareng (seseorang
yang menjadi panutan – bisa seorang punggawa,
arung, ataupun pemuka masyarakat) dengan joa (para pengikut ajjoareng
dan biasanya berasal dari golongan maradeka–merdeka).
Sedangkan pada suku Makassar, ajjoareng (para patron) tersebut adalah para karaeng atau anakaraeng, dan joa-joanya
disebut ana‟-ana‟ atau taunna (orangnya). “Minawang” artinya mengikuti, yang
maksudnya adalah ikatan antar mereka. bersifat sukarela dan dapat diputuskan
setiap saat. Prinsip mereka dalam hubungan ini adalah golongan yang lebih
tinggi memiliki kekuatan yang lebih di mata masyarakat Sulawesi Selatan
umumnya. Sehingga terlihat jelas strata yang terbentuk di masyarakat ini.
Setiap strata memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh masing –
masing agar terjadi keseimbangan. Adapun hukum adat yang berlaku di kawasan
Sulawesi Selatan adalah “bahwa
golongan yang lebih rendah tidak berkuasa atas golongan yang lebih tinggi, dan
ini berkaitan juga dengan soal martabat. Hal yang sebaliknya juga terjadi,
yaitu makin banyak pengikut makin tinggi pula martabat seorang anakaraeng atau
karaeng”.
Hubungan patron – klien tidak akan berjalan mulus tanpa ada unsur-unsur
yang menyertainya, antara lain :
§ Apa yang diberikan oleh satu pihak berharga di mata pihak lain,
sehingga timbul keinginan atau rasa ingin membalas pemberian tersebut.
§ Adanya hubungan timbal balik (sebagai reaksi dari unsur pertama).
§ Adanya norma dalam masyarakat yang memberi hak klien untuk
melakukan penawaran, ( bila pemberian tidak sesuai boleh pindah patron).
Lebih jauh lagi James C. Scott mengungkapkan
ciri – ciri hubungan patron – klien yaitu :
§ Adanya ketidaksamaan (inequality)
dalam pertukaran timbal balik.
§ Pemberian sang patron kepada klien dianggap tidak seimbang,
sehingga mengikat klien untuk senantiasa loyal pada patron. Poin ini
dapat menimbulkan dua kemungkinan, pertama adanya rasa saling ketergantungan
yang berakibat mempererat hubungan antara patron dan klien, kedua klien
melepaskan diri dari patron, karena apa yang dia terima merasa tidak sebanding
dengan yang dia beri.
§ Adanya sifat tatap muka (face
to face character). Pengaruh chemistry
yang mempengaruhi berjalannya hubungan ini lebih dekat, lebih dari
sekedar hubungan kerja sama karena ada unsur emosional di dalamnya.
§ Bersifat luwes dan meluas (diffuse
flexibility). Hubungan tidak hanya sebatas kebutuhan saat ini, akan
tetapi dapat meluas sebagai teman di waktu kecil, tetangga dan sebagainya.
Orang Makasar memiliki ungkapan untuk saling
mendukung dan menguatkan antara martabat, tingkat kebangsawanan dan banyaknya
pengikut dalam masyarakat Sulawesi tertulis seperti berikut :“…bahwa seorang karaeng yang baik mempunyai
pengikut yang baik, sedang karaeng yang jelek, jelek pula pengikutnya”.
Hubungan patron-klien sebagai suatu hubungan
yang lumrah dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Karena hubungan ini sudah
masuk kedalam lingkup kebudayaan masyarakat setempat. Beberapa kasus, seorang karaeng mempunyai kewajiban untuk
memenuhi kebutuhan pengikutnya. Dia memberikan bantuan dengan menyediakan
sawah, atau tanah untuk digarap, kerbau untuk membajak, bahkan ketika klien
mengalami musibah seorang karaeng memberikan
pertolongan dan memberikan bantuan keuangan.
Menurut James C. Scott munculnya patron klien
disebabkan oleh adanya perbedaan yang mencolok antara kepemilikan harta benda
atau kekayaan, status serta kekuasaan. Keinginan untuk memperoleh keamanan
pribadi di saat tidak adanya kontrol sosial yang mengakibatkan keamanannya
terancam. Hasil dari hubungan kekerabatan yang tidak efektif mengakibatkan
untuk memberikan perlindungan kepada individu maupun keinginan-keinginan untuk
memperoleh kekayaan, kekuasaan dan status strata. Patron selalu memberikan
bantuan baik moril maupun materil dan sebagaimana yang seharusnya si klien akan
membalas bantuan tersebut baik dengan dukungan yang umum, bantuan termasuk jasa
pribadi kepada patron, akan tetapi seakan tidak akan pernah setara dengan apa
yang patron berikan kepada klien tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat membuat hubungan
instrumental ini dapat selalu berjalan seperti rasa menghargai terhadap
pemberian dan rasa wajib membalas untuk menghidupkan hubungan timbal balik ini
serta terdapat aturan dalam masyarakat tentang penawaran klien dan mundurnya
klien terhadap hubungan intrumental ini. Adanya konsep ketidakseimbangan dan
ketidaksamaan antara kedudukan dalam pertukaran yang menyebabkan hubungan ini
memberatkan si klien karena ia akan tetap terikat kepada patronnya karena
pengaruh ketidak setaraan. Serta tatap muka langsung dan bagaimana jangkauan
patron dalam memperoleh klien ini yang ada disekitar menjadi ciri khusus gejala
patron klien ini. Selain kondisi diatas, hubungan kota dan desa yang tidak
lancar mendukung patronase ini, pihak yang memiliki akses ke kota menjadi orang
yang yang diatas kedudukannya, karena dia yang sering diminta
pertolongannya anggota masyarakat yang lain.
3. Stratafikasi Sosial
Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat biasanya dianggap
sangat penting untuk mencari latar belakang pandangan hidup, watak dan
sifat-sifat, berdasar dari suatu masyarakat. lebih jauh dari itu akan dapat
diungkapkan hubungan-hubungan kejadian dalam masyarakat yang menyangkut tingkah
laku segenap kegatan dalam masyarakat, termasuk kegiatan dan tingkah laku
politiknya. Sistem lapisan masyarakat tersebut dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Kata stratification berasal dari kata stratum (jamaknya strata yang berarti
lapisan).
Seorang sosiolog terkemuka yaitu Pitirim A Sorokin mengatakan
bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap ada dan umum dalam setiap
masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga
dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap berkedudukan dalam lapisan atas.
Mereka yang hanya memiliki sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang
berharga dalam pandangan masyarakat memiliki kedudukan yang rendah. Di antara
lapisan atas dan yang rendah, ada lapisan yang jumlahnya dapat ditentukan
sendiri oleh mereka yang hendak mempelajari sistem lapisan masyarakat. Sorokin
mendefenisikan staratifikasi sosial senagai pembedaan penduduk atau masyarakat
ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis).
Perwujudannya adalah kelas-kelas yang tinggi dan kelas yang lebih
rendah.
Bentuk – bentuk lapisan masyarakat tersebut banyak, namun secara
sederhana dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu stratifikasi
berdasarkan ekonomis, politis dan jabatan
– jabatan tertentu dalam masyarakat. ketiga dasar stratifikasi tersebut satu
sama lain saling berhubungan misalnya orang tertentu atas dasar ekonomis memiliki
kekayaan yang banyak dilain pihak umumnya juga menduduki jabatan – jabatan
tertentu dalam masyarakat dan biasanya ia juga mempunyai kekuatan dalam bidang
kebijakan (berdasar politis). Lapisan – lapisan dalam masyarakat dapat terjadi
dengan sendirinya atau sengaja di susun untuk mengejar suatu tujuan bersama.
Alasan terjadinya lapisan – lapisan dengan sendirinya antara lain adalah
tingkat umum (senior), kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang
kepala masyarakat, juga mungkin kekayaan. Alasan yang dipakai tiap – tiap masyarakat
mungkin saja berbeda, misalnya pada masyarakat yang hidupnya berburu, alasan
utama yang dipakai dalam pelapisan masyarakat adalah kepandaian berburu.
Sedangkan pelapisan sosial yang sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama
biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam
organisasi formal, seperti pemerintah atau perusahaan.
Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat, akan
tetapi sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial, halnya tidaklah
demikian. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan
bagian sistem sosial setiap masyarakat. Dilihat dari sifatnya, pada dasarnya
stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu stratifikasi sosial tertutup (close
social stratification) dan sratifikasi sosial terbuka (open social stratification).
Stratifikasi sosial tertutup bercirikan sulitnya seseorang untuk berpindah dari
satu lapisan ke lapisan lain. Tanda/lambing – lambang yang merupakan ciri yang
khas.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk bermasyarakat. Manusia
selalu hidup bersama dan berada di antara manusia lainnya, dalam bentuk
konkritnya, manusia bergaul, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan manusia
lainnya. Keadaan ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat dorongan untuk
hidup bermasyarakat disamping dorongan keakuan. Dorongan bermasyarakat dan
dorongan keakuan yang mendorong manusia bertindak untuk kepentingan dirinya
sendiri.19 Interaksi seorang individu dengan individu yang lain kadangkala membawa
misi dan kepentingan sendiri namun ia harus membatasi kepentingan yang tidak
sejalan dengan kepentingan orang lain agar tidak terjadi konflik atau
pertentangan yang akhirnya mengarah pada missosialisasi.
Norma-norma sosial dibutuhkan untuk membatasi dan menekan kesenjangan pada
tingkat serendah mungkin. Kepatuhan terhadap norma ini merupakan sikap
pernyataan seseorang untuk mengintegrasikan
dirinya pada masyarakat. Penciptaan suasana kemasyarakatan yang lebih baik
dapat dilakukan dengan pembinaan pada diri individu masing-masing, membina
anggota keluarganya, dan membina lingkungan yang terdekat dengannya, sebab
suatu masyarakat terdiri atas sejumlah satuan individu sehingga setiap individu
akan dipengaruhi oleh masyarakat dalam pembentukan pribadinya dan sebaliknya
masyarakat dipengaruhi oleh individu, bahkan dalam konteks masyarakat
di anggap bahwa masyarakat dan individu berkomplementer satu sama lain. Salah
satu faktor penentu terwujudnya masyarakat yang baik adalah apabila setiap
individu dalam masyarakat tersebut memahami dan menyadari hak dan kewajiban
masing – masing. Namun demikian seseorang hendaknya lebih mendahulukan
pelaksanaan kewajibannya daripada menuntut akan haknya. Sebab menuntut akan hak
sebelum melaksanakan kewajiban dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam
masyarakat.
Setiap manusia pada dasarnya memiliki hak yang sama dan memiliki
kedudukan yang sama di depan hukum. Namun di sisi lain, dari aspek sosial,
seseorang akan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda apabila mereka menempati
posisi yang berbeda pula, hal ini ditentukan oleh status sosial seseorang di
masyarakat. Perbedaan status akan menyebabkan perbedaan peran, misalnya status
sebagai seorang dosen memiliki peran yang berbeda dengan status sebagai seorang
mahasiswa.
Arti status dalam kamus bahasa Indonesia adalah kedudukan orang,
badan, negara dan sebagainya. Menurut P. Soedarno status yang biasa
diterjemahkan kedudukan adalah tempat seseorang dalam hubungannya dengan
orang-orang lain dalam masyarakat, yang akan memberi hak – hak serta
kewajiban-kewajiban tertentu kepada individu yang menempati kedudukan tersebut.
Secara abstrak kedudukan itu berarti tempat seseorang dalam
suatu pola tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang mempunyai
bebrapa kedudukan karena orang itu, ikut serta dalam berbagai pola kehidupan.
Pengertian ini menunjukkan tempat seseorang di dalam kerangka masyarakat secara
keseluruhan. Kedudukan masyarakat A misalnya sebagai warga merupakan kombinasi
dari segenap kedudukannya sebagai guru, kepala sekolah, ketua rukun tetangga,
sebagai suami nyonya B atau sebagai ayah dari anak-anaknya.
Pelaksanaan
peran yang penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan kedudukan mereka maka akan
mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang teratur dan harmoni. Masyarakat
diibaratkan seperti tubuh manusia, bila salah satu organ tubuh mengalami
gangguan atau sakit maka bagian yang lain akan turut merasakan akibatnya.
Setiap organ tubuh memiliki bentuk, fungsi dan peran yang berbeda, namun
seluruh organ itu adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Masing-masing
memiliki peran yang berbeda dan tidak berfungsinya salah satu diantara
keseluruhan akan menimbulkan dampak bagi keseluruhan. Terdapat banyak status
atau kedudukan di dalam masyarakat sebagai suatu sistem yang membentuk hierarki
status. Status tertentu hanya mempunyai arti dan baru bisa dimengerti apabila
dikaitkan dengan status-status lain yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah.
Berbagai status yang berbeda secara berjenjang menimbulkan social rank atau jenjang derajat
sosial. Berdasarkan cara status itu didapatkan oleh warga masyarakat, maka
status itu dibedakan menjadi :
§ Ascribed status
Status ini didapatkan
oleh seseorang bukan karena usaha, melainkan karena pengaruh adat dan
kebudayaan yang berlaku, atau corak masyarakat, misalnya masyarakat feodal.
Istri pejabat secara otomatis akan mengikuti kedudukan suami ; anak seorang
ningrat dengan sendirinya akan mendapat hak-hak seperti yang dinikmati oleh
orang tuanya ; seorang warga kasta sudra mendapat kedudukan rendah demikian
semata-mata karena orang tuanya tergolong kasta yang rendah ; Tini tidak
melanjutkann sekolah seperti kakaknya karena dia wanita.
Umumnya ascribed status dijumpai dalam
masyarakat tertutup yang berlapis-lapis (feodal) atau berlapis-lapis karena
perbedaan rasial. Namun adakalanya ascribed
status tersebut terdapat juga pada masyarakat berlapis yang terbuka.
Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya kedudukan seorang laki-laki dalam
satu keluarga, yang berbeda dengan kedudukan istri dan anak-anaknya. Laki-laki
atau suami dengan sendirinya menjadi kepala keluarga, tanpa harus mempunyai
bangsawan atau warga suatu kasta seperti dikemukakan di atas. Sekaitan hubungan
ini perlu di catat bahwa kendatipun sekarang ini terdapat persamaan di hampir
segla bidang kehidupan, namun kedudukan seorang ibu tidaklah sama dengan
kedudukan seorang ayah dalam keluarga.
§ Achieved status (Status yang dicapai dengan usaha)
Kedudukan ini dicapai
oleh seseorang berkat jerih payah atau usahanya sendiri, kedudukan macam ini
bersifat terbuka bagi siapa saja, asal mampu memenuhi persyaratan yang dituntut
oleh kedudukan tersebut, contoh kedudukan sebagai dokter, kedudukan ini
sebetulnya terbuka bagi siapa saja, asalkan mampu memenuhi persyaratan yang di
tuntut oleh profesi tersebut. Pemenuhan persyaratan dikembalikan kepada
bersedia atau tidaknya seseorang mengusahakan.
Sistem yang demikian
ini dapat kita temukan misalnya dalam masyarakat di Indonesia sekarang ini.
setiap orang diberi kesempatan ini untuk menduduki segala jabatan bila ada
kesempatan dan kemampuan untuk itu, tapi seseorang juga dapat turun dari
jabatannya bila dia tidak mampu mempertahankannya. Sistem pelapisan ini disebut
sistem pelapisan masyarakat terbuka. Dalam hubungannya dengan pembangunan
masyarakat, sistem pelapisan masyarakat yang terbuka sangat menguntungkan sebab
setiap warga di beri kesempatan untuk bersaing dengan yang lainnya. Seseorang
berusaha untuk mengembangkan segala kecakapannya agar dapat meraih kedudukan
yang dicita-citakan. Demikian sebaliknya bagi mereka yang tidak bermutu akan
semakin didesak oleh mereka yang cakap, sehingga yang bersangkutan bisa jadi
jatuh ke lapisan sosial yang lebih rendah. yang di tuntut dan diberikan oleh
kedudukan sosial yang ditempatinya.
Sering
terjadi dalam masyarakat bahwa peranan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
harapan atau role expectation yang
dirasakan oleh masyarakat. Ketidakmampuan untuk berperan sesuai dengan harapan
masyarakat bisa menimbulkan rasa tertekan (role stain) pada diri pemeran atau sebaliknya bila dia justru
nekat, maka akan menerima sanksi – sanksi sosial tertentu dari masyarakat.
Stratifikasi
sosial, status dan peranan selalu ada dalam kehidupan sosial masyarakat. Setiap
masyarakat senantiasa memberikan penghargaan tertentu terhadap hal-hal yang
tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian juga masyarakat di
Sulawesi Selatan. Stratifikasi masyarakat telah ada sejak zaman kerajaan. Pada
zaman kerajaan, di kenal dua kategori orang kebanyakan : orang baik – baik (tau deceng) dan orang „merdeka‟ (tau maradeka). Orang
baik-baik keturunan dari tau matoa kalangan
orang kebanyakan, ulama terkemuka, atau orang-orang yang kadar kebangsawanannya
telah cukup pudar sehingga tidak termasuk lagi dalam kategori
kebangsawanan. Orang
kebanyakan umumnya tidak menjaga kemurnian dan keberlanjutan silsilah, dan
umumnya akan kehilangan jejak hubungan mereka dengan kerabat yang lebih jauh
dari sepupu dua kali. Kerabat jauh cukup puas mengetahui mereka memiliki
leluhur yang sama. Pengetahuan tentang orang-orang yang mempunyai indikasi keturunan
budak disampaikan kepada orang lain dengan sangat hati-hati ; orang-orang
merdeka khususnya orang baik-baik terus menghindari pernikahan dengan orang-orang
dari kalangan ini.
C.
Kebudayaan
Masyarakat Suku Bugis Makassar
Berbicara tentang
kebudayaan Bugis Makassar Ada beberapa hal yang bisa memberikan gambaran
tentang budaya orang Bugis, yaitu konsep ade,
siri’na pesse dan simbolisme atau ciri khas pakaian orang bugis adalah
sarung sutra.
1. Konsep
adat istiadat suku Bugis Makassar (ade‟). Ade‟ dalam bahasa Indonesia yaitu adat istiadat. Bagi masyarakat
Bugis Makassar , ada empat jenis adat yaitu :
a. Ade maraja yang dipakai dikalangan raja atau para pemimpin.
b. Ade puraonro yaitu adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat secara
turun temurun.
c. Ade assamaturukeng peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan.
d. Ade abiasang adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan
dalam masyarakat.
2. Bagi
manusia Bugis Makassar “siri’napesse” adalah
jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan
dan membela siri yang dianggap
tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis Makassar bersedia
mengorbankan apa saja termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri’napesse dalam kehidupan mereka. Di
zaman ini siri’ tidak lagi
diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada
prakteknya siri„ dijadikan
suatu legitimasi dalam melakukan tindakan – tindakan yang anarkis, kekerasan,
dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri„ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri„ harus dipertahankan pada koridor
ade„ (adat) dan ajaran agama
Islam dalam mengamalkannya. Sesungguhnya seorang manusia Bugis ialah manusia
yang sarat akan prinsip dan nilai – nilai ade’ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan
kehidupannya, serta sifat panngadereng
(adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
1.
Adat
Pernikahan
Pernikahan yang
kemudian dilanjutkan dengan pesta perkawinan merupakan hal yang membahagiakan
bagi semua orang terutama bagi keluarga dan orang – orang di sekitarnya. Di
Sulawesi Selatan terdapat banyak adat perkawinan sesuai dengan suku dan
kepercayaan masyarakat. Bagi orang Bugis-Makassar sebelum melaksanakan lamaran
dilakukan pendekatan kepada orang tua/gadis yang akan di lamar (mammanu – manu‟), Kemudian satelah
itu dilaksanakan proses melamar atau “assuro”
(Makassar) dan “madduta”
(Bugis). Jika lamaran diterima, dilanjutkan dengan proses membawa uang lamaran
dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta perkawinan oleh pihak
wanita ini disebut dengan “mappenre
dui” (Bugis) atau “appanai leko
caddi” (Makassar).
Pada saat mengantar
uang lamaran kemudian ditetapkan hari baik untuk acara pesta perkawinan yang
merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Sehari sebelum hari “H” berlangsung
acara “malam pacar” mappacci (Bugis)
atau “akkorontigi” (Makassar),
calon pengantin baik pria maupun wanita (biasanya sudah mengenakan pakaian adat
daerah masing-masing) duduk bersila menunggu keluarga atau kerabat lainnya
datang mengoleskan daun pacar ke tangan mereka sambil diiringi doa-doa untuk
kebahagiaan mereka.
Keesokan harinya (Hari
“H”), para kerabat datang untuk membantu mempersiapkan acara pesta mulai dari
lokasi, dekoasi, konsumsi, transportasi dan hal – hal lainnya demi kelancaran
acara. Pengantin pria diberangkatkan dari rumahnya (mappenre botting = Bugis/appanai
leko lompo = Makassar) diiringi oleh kerabat dalam pakaian pengantin
lengkap dengan barang seserahan „erang
– erang‟ menuju rumah mempelai wanita. Setibanya di rumah mempelai
wanita.
Pernikahan pun
dilangsungkan, mempelai pria mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu
disaksikan oleh keluarga dan kerabat lainnya. Setelah proses pernikahan
selesai, para pengantar dipersilakan menikmati hidangan yang telah
dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar pulang dan mempelai pria tetap di rumah
mempelai wanita untuk menerima tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat
dan menyaksikan acara pesta perkawinan. Pada acara pesta perkawinan biasanya
meriah karena diiringan oleh hiburan organ tunggal atau kesenian daerah
lainnya. Keesokan harinya, sepasang pengantin selanjutnya diantar ke rumah
mempelai pria dengan iring-iringan yang tak kalah meriahnya. Selanjutnya, rumah
mempelai pria berlangsung acara yang sama (bahasa Bugis disebut „mapparola‟).
2.
Adat Berpakaian
Baju bodo adalah baju adat Bugis – Makassar yang dikenakan oleh perempuan.
Sedangkan lipa' sabbe adalah
sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo. Konon dahulu kala, ada
peraturan mengenai pemakaian baju bodo.
Masing – masing warna menunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.
§ Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun
§ Warna
jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10 – 14 tahun.
§ Warna merah darah untuk 17 – 25 tahun.
§ Warna putih digunakan oleh
para inang dan dukun.
§ Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
§ Warna ungu dipakai oleh para janda.
Selain peraturan
pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis – Makassar
yang mengenakan baju bodo sebagai
pakaian pesta, misalnya pada pesta pernikahan. Akan tetapi saat ini, baju adat
ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan,
digantikan oleh kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau
busana-busana yang lebih simple dan
mengikuti trend. Walau dengan
keterpinggirannya, Baju bodo kini tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam
resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passeppi'-nya (pendamping mempelai,
biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu (pajjempu/padduppa tamu).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari unsur – unsur
tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing
– masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling
mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat. Suku Bugis
Makassar merupakan sebuah suku yang kaya akan kebudayaan abstrak maupun
kebudayaan konkrit. Persentase jumlah penduduk suku Bugis di Sulawesi Selatan
adalah sekitar 62,5% dan suku Makassar sekitar 26,7%.
Sistem kekerabatan dalam
kebudayaan Bugis Makassar masih cukup kental, lapisan masyarakat Bugis dan
Makassar terdiri dari 3 yaitu anak arung atau lapisan kaum kerabat raja – raja, tomaradeka atau lapisan orang
merdeka, dan ata atau lapisan orang budak.
Mata pencaharian lain yang diminati
orang Bugis adalah pedagang. Kemudian ada sisi seni juga yang biasanya
menjadi mata pencarian bagi suku Bugis
Makassar, yakni pembuatan sarung tenun sutra. Bahasa yang diucapkan oleh suku
Bugis disebut bahas ugi sementara suku Makassar disebut mangkasara dan hurufnya
yaitu aksara lontarak.
B.
Saran
Untuk para generasi penerus sebaiknya memahami dan
mempelajari sosial dan kebudayaan masyarakat suku Bugis Makassar karna syarat
akan makna dan nilai – nilai yang akan bermanfaat apabila diterapkan dalam
kehidupan sehari – hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Ashar, “Eksistensi Sara” dalam Pangngadereng
bagi Orang Bugis Makassar, Majalah Somba Opu Th. I No. 2, Ujung pandang :
Depdikbud Ditjenbud SPSP Prop. Sul-Selra, 1996.
Abbas, Irwan & Mappanganro Suriadi, Sejarah
Islam di Sulawesi Selatan, Makassar : Lamacca Press, 2003.
Farid, Zainal Abidin, Capita Selecta
Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang : Hasanuddin University Press,
1999.
Farid, Zainal Abidin, Lontara Sebagai Sumber
Sejarah Terpendam (Masa 1500-1800), Makassar : Lembaga Penelitian Hukum,
UNHAS, 1980.
Hamonic, Gilbert, Nenek Moyang Orang Bugis,
Makassar, Pustaka Refleksi, 2008.
Mattulada, Latoa Satu Lukisan Analitis Antropologi Politik
Orang Bugis, Ujung Pandang : Hasanuddin University Press, 1995.
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah
1510-1700, Ujung Pandang : Bhakti Baru Berita Utama, 1982.
Mattulada, Sejarah Masyarakat
dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang : Lembaga Penerbitan UNHAS,
1998.
