body {background:$bgcolor;background-image:url(http://i46.photobucket.com/albums/f143/tamita2000/blog2-5.jpg);background-position: center; background-repeat:no-repeat; background-attachment: fixed;margin:0; color:$textcolor; font:x-small Georgia Serif; font-size/* */:/**/small; font-size: /**/small; text-align: center;
World of RADIOLOGI
Arna

Followers

Rabu, 27 Maret 2019

Sejarah Perkembangan Suku Bugis Makassar



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Karakter bangsa tidak bisa terlepas dari nilai – nilai budaya. Budaya didefinisikan sebagai seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku (Marvins, 1999). Begitu juga dengan yang dikatakan oleh Parsudi Suparlan (1981) bahwa budaya adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan.
Dalam konteks keberagaman suku dan budaya, setiap wilayah provinsi di Indonesia tentunya memiliki ciri khas suku dan kebudayaan masing – masing. Salah satunya adalah Sulawesi Selatan yang merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan pulau Sulawesi dengan Kota Makassar sebagai ibu kota. Secara umum terdapat empat suku bangsa di provinsi Sulawesi Selatan ini yakni Suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, dimana dalam lingkup Kota Makassar, Suku Bugis dan Makassar lebih dominan jika dibandingkan dengan Suku Mandar dan Toraja.
Etnis Bugis dan etnis Makassar adalah dua diantara empat etnis besar yang berada di Sulawesi Selatan. Pada hakekatnya kebudayaan dan pandangan hidup orang Bugis pada umumnya sama dan serasi dengan kebudayaan dan pandangan hidup orang Makassar. Membahas tentang budaya Bugis sulit dilepaskan dengan pembahasan tentang budaya Makassar karna pada hakekatnya apa yang berlaku dalam dunia manusia Bugis, berlaku pula pada manusia Makassar. Oleh karna hal tersebut penulis tertarik untuk membahas mengenai “Sosial Budaya Pangan dan Gizi Suku Bugis Makassar”.
B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah perkembangan suku Bugis Makassar ?
2.    Bagaimana struktur dan sistem sosial masyarakat suku Bugis Makassar ?
3.    Bagaimana kebudayaan masyarakat suku Bugis Makassar ?

C.   Tujuan
1.    Untuk mengetahui sejarah perkembangan suku Bugis Makassar
2.    Untuk mengetahui struktur dan sistem sosial masyarakat suku Bugis Makassar
3.    Untuk mengetahui kebudayaan masyarakat suku Bugis Makassar


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sejarah Perkembangan Suku Bugis Makassar
1.    Asal usul suku Bugis Makassar
Suku bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku Melayu Deutero. Masuk ke nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi 10. Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya.
Masyarakat Bugis pada awal perkembangannya sangat memegang tradisi, dari cara membentuk kelompok, tempat pemukiman, makanan, pakaian, pemakaman, hingga pemberian sesajen. Jika dilihat sejarah awalnya, orang Bugis belum mengetahui agama yang dianutnya karena paham yang mereka gunakan sangat primitif, tetapi jika dilihat dari cara penyajiannya mereka mendekati agama Hindu Budha. Masyarakat Bugis juga dikenal sebagai pedagang yang unggul, terbukti dari hasil dagangannya seperti neraca, perunggu di Selayar, kapak perunggu di ujung selatan semenanjung Sulawesi Selatan serta berbagai patung Budha di Bantaeng dan Mandar serta berbagai hasil perdagangan ekspor lainnya.
Pada akhir millennium pertama masehi Sulawesi Selatan telah menjalani jaringan perdagangan antar pulau selama berabad-abad. Namun demikian, penemuan keramik Cina dari abad ke 10 pada situs – situs arkeologi menunjukkan adanya intensifikasi atau orientasi baru dalam dunia perdagangan. Berhubung tidak adanya rujukan yang jelas mengenai Sulawesi dalam sumber – sumber Cina, bahkan tidak di sebut-sebut dalam catatan terkenal yang di sebut Chau-Ju-Kua tentang produk dan jalur perdagangan Cina Selatan.11 Faktor ini bisa juga disebabkan karena kurangnya peneliti sejarah Bugis yang meneliti secara ilmiah (tertulis). Walaupun demikian, fakta membuktikan bahwa masyarakat Bugis memang sangat menggeluti dunia perdagangan. Hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Bugis hingga membentuk adat istiadat sesuai dengan kebiasaan yang digelutinya, maka dari itu keras atau halus cara berbicara dan bertindak orang Bugis dilihat dari wilayah dan kegiatan sehari – harinya (tempat mata pencahariannya).

Pekerjaan yang digeluti oleh orang Bugis terutama bila mereka merantau ke daerah lain adalah sebagai pedagang, saudagar, pengusaha, atau nama apa pun semacam itu dan perantau adalah ciri yang melekat pada kebanyakan orang Bugis dan Makassar. Hampir semua provinsi di nusantara ini bisa dipastikan ada orang asal Sulawesi Selatan di situ dengan pekerjaan utama pedagang atau pengusaha. Terbukti saat Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar awal November 2013 yang lalu, ratusan perwakilan saudagar Bugis-Makassar yang berasal dari dalam dan luar negeri ikut hadir.
Sejak zaman dahulu, orang Bugis memang sudah kental dengan sifat perantau. Di perantauan, mereka terkenal punya semangat juang dan semangat hidup lebih besar. Dalam sejarahnya, sejak dulu hingga sekarang, biasanya begitu masuk di suatu daerah mereka langsung menguasai pasar. Menguasai dalam arti berdagang. Biasanya dari berdagang di pasar, mereka kemudian berdagang hasil bumi, bahkan membeli tanah dan bertani atau berkebun. Setelah itu mereka mulai ke usaha lain – lain.
Satu hal yang membuat orang Bugis bisa diterima di mana saja dan akhirnya cukup mencolok jika sudah berhasil di perantauan adalah semboyan "di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung”. Kalau orang Bugis sukses di perantauan, mereka akan kaya dan membelanjakan uangnya di perantauan. Mereka membangun rumahnya juga di rantau dan bukan di kampung. Kalaupun mereka menginvestasi di kampung, biasanya hanya sedikit. Itu pun biasanya dalam bentuk membangun masjid, membangun rumah orangtua, atau semacam itu. Orang Bugis biasanya berprinsip di mana mereka merasa tenang dan nyaman hidup sekaligus berusaha, itulah yang dianggap tanah mereka.
Kesemua itu pula yang membuat Christian Pelras, seorang berkebangsaan Prancis, akhirnya meneliti orang Bugis, bahkan membuat buku yang berjudul The Bugis. Padahal, awalnya Pelras mau melakukan penelitian tentang budaya Melayu di Malaysia. "Orang Bugis sebenarnya bukan pelaut, tetapi pedagang, yang lebih pantas di sebut pelaut adalah orang Mandar (suku di Sulawesi Barat). Namun, yang kemudian membuat orang Bugis terkenal sebagai pelaut karena dalam berdagang, mereka banyak menggunakan jalur laut. Mau tidak mau agar sukses sebagai pedagang, mereka juga harus menguasai jalur laut. Makanya mereka juga terkenal tangguh di laut," papar Pelras.
Hal ini dibenarkan oleh Edward Palimbongang, pakar sejarah dari Universitas Hasanuddin. Menurutnya, berbagai laporan dan catatan maupun dokumen di Belanda banyak menyebut kehebatan perdagangan maritim dan Pelabuhan Makassar abad ke-19. Orang Bugis – Makassar yang tinggal di desa – desa daerah pantai bermata pencaharian mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas. Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu-perahu layar. Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, orang Bugis – Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan Philipina.
Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim sejak abad ke 17. Orang Bugis Makassar juga telah mewarisi hukum niaga pelayaran. Hukum ini disebut Ade‟allopiloping Bicaranna Pabbalue ditulis oleh Amanna Gappa pada Lontara abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-Makassar mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Indonesia.


Selain pertanian, penangkapan ikan, pelayaran,dan perdagangan, usaha kerajinan rumah tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan. Tenunan sarung sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba adalah salah satu contohnya. Pada abad ke 17 saudagar – saudagar Bugis Makassar sudah memiliki loji (tempat untuk tinggal, berdagang, gudang, dan agen perwakilan) di Manila dan Makau. Catatan sejarah membuktikan bahwa pedagang Bugis ternyata juga punya andil dalam kemajuan Singapura. Buktinya, kampung pertama yang dibangun di pulau itu adalah Kampung Bugis di daerah Gelam.
Sebenarnya jika Indonesia dan rakyatnya ingin maju, bercermin pada sejarah dan pengalaman masa lalu, terutama semangat juang dan kegigihan para pendahulu, bukanlah sesuatu yang bodoh. Sayangnya, banyak keteladanan masa lalu yang kini mulai pupus. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku Bugis sangat menghindari tindakan – tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum.
Sedangkan adat malu (siri‟) masih dijunjung oleh kebanyakan masyarakat Bugis. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi. Perubahan sosial yang terjadi terutama menyangkut perubahan kebudayaan dan sistem tatanan daerah termasuk adat istiadat yang berlaku disebabkan karena keinginan untuk mengetahui dunia luar yang lebih maju.  Hal – hal yang baru itu biasanya didapat melalui perdagangan, dari cara berpakaian serta spritualnya akan mengalami perubahan karena adanya agama baru yang masuk lebih mengarahkan pada tatanan hidup yang lebih bermoril. Sehingga adat istiadat yang sebelumnya kurang cocok dengan agama akan dihilangkan. Agama yang pada umumnya dianut oleh masyarakat Bugis adalah agama Islam. Menurut Christian Pelras hal ini merupakan peristiwa yang sangat penting. Orang Bugis bersama orang Aceh, Melayu, Banjar, Sunda, Madura dan tentunya orang Makassar di anggap termasuk orang Indonesia yang paling kuat dan teguh memeluk ajaran Islam. Hampir semua orang Bugis memeluk agama Islam kecuali sekitar ratusan orang di kabupaten Soppeng yang menganut agama Kristen dan komunitas “Tau Lotang yang bermukim di Amparita Kabupaten Sidrap yang menganut kepercayaan nenek moyang.
Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang taat beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Di mana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen.
Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut „Tau Lotang‟ yang berarti „Orang Selatan‟. Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
Kabupaten Sidrap terkenal dengan kehidupan seorang tokoh yang pernah hidup, seorang cendekiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nene‟ Mallomo‟. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu : Naiya ade‟e de‟nakkeambo, de‟to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya adat itu tidak mengenal bapak dan tidak mengenal anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nene‟ Mallomo‟ ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nene‟ Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara‟ La Toa, Nene‟ Mallomo‟ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Lalido, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nene‟ Mallomo‟ dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut Tudang Sipulung (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para pallontara‟ (ahli mengenai buku Lontara‟) dan tokoh – tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan tudang sipulung yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu‟mang sebelum tahun 1980, daerah – daerah lain pun sudah menerapkannya.
2.    Awal kedatangan suku Bugis di Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan adalah tempat asal dari suku Bugis yang dapat dilihat dari bahasa dan adat istiadatnya. Bahkan saat ini suku Bugis ada pula yang merantau jauh hingga ke luar negeri, yakni Malaysia, Singapura dan Filipina. Sejarah suku Bugis ada kaitannya dengan sejarah orang Melayu yang masuk ke Nusantara setelah migrasi pertama 3500 tahun lalu dari Yunan, China Selatan. Mereka ini termasuk dalam suku Melayu Deutero atau muda yang berasal dari ras Malayan Mongoloid. Berkembangnya adat istiadat suku Bugis ini lalu mengarah pada munculnya banyak kerajaan seperti Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Sinjai, Barru dan masih banyak yang lainnya. Saat ini semua kerajaan-kerajaan tersebut menjadi kabupaten, dimana orang Bugis adalah penduduk mayoritas.
Suku Bugis memiliki adat istiadat yang unik. Pada tahun 1512 hingga 1515, ada sekitar lima puluh kerajaan yang mayoritas penduduknya menyembah berhala atau menganut animisme-dinamisme. Hal tersebut dapat dilihat pada tata cara penguburan orang Bugis. Saat itu mereka masih menguburkan orang yang meninggal dengan tata cara jaman pra sejarah, yakni dengan mengarah ke timur dan barat serta diberikan bekal seperti mangkuk, tempayan, tiram dan barang buatan Cina serta benda berharga lainnya. Bahkan untuk para bangsawan dan tokoh terkemuka pada wajahnya diberikan penutup muka yang terbuat dari emas ataupun perak. Sebagai bukti bahwa mereka memiliki strata sosial yang tinggi di masyarakat.





3.    Asal usul suku Makassar
Suku Makassar adalah nama Melayu untuk suku yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Orang Makassar menyebutnya Mangkasara berarti mereka yang bersifat terbuka. Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Adapun bahasa Makassar juga disebut sebagai bahasa Makassar atau Mangkasara yaitu bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar penduduk Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis dan Makassar memiliki aksara sendiri, di kenal adanya pemakaian huruf spesifik yang di sebut huruf Ogi Mangkasara atau sering di sebut huruf lontara‟, namun sekarang banyak di tulis dengan menggunakan huruf latin. Dikalangan orang Makassar terdapat bermacam – macam keterangan tentang arti lontara‟, antara lain :
§  Kata lontara berasal dari nama jenis pohon yang di sebut pohon lontara (pohon lontar). Daunnya di sebut daun lontara. Daun lontara itu dahulu oleh orang-orang Bugis dijadikan sebagai alat tulis yaitu tempat mencatatkan semua peristiwa-peristiwa dan pandangan-pandangan penting yang pernah dialami dan dikemukakan oleh orang-orang Bugis. Jadi lontara‟ ialah catatan – catatan yang di tulis orang Bugis pada waktu yang telah lampau.
§  Lontara ialah catatan – catatan yang di tulis di atas daun lontar dengan menggunakan alat – alat tajam. Keterangan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Mattulada bahwa lontara‟ itu adalah catatan – catatan yang aslinya di tulis di atas daun lontar dengan menggunakan alat tajam, kemudian dibubuhi warna hitam pada bekas – bekas guratan tanda tajam itu.     Tanda – tanda bunyi yang dipergunakan disebut juga huruf lontara.

4.    Awal kedatangan suku Makassar di Sulawesi Selatan
Suku asli Makassar ada di Kabupaten Gowa. Dahulu Gowa adalah sebuah kerajaan besar yang mempunyai banyak daerah kekuasaan. Kejayaan kerajaan Gowa dicapai pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin yang sering digelari “ayam jantan dari timur”. Kekuasaannya mencapai Afrika Selatan dan Brunei Darussalam. Namun pada masa penjajahan kerajaan Gowa mengalami kekalahan melawan Belanda dan kerajaan Bone pada masa itu, sehingga menyebabkan banyak kekacauan dan kerugian besar bagi masyarakat Gowa.
Orang Makassar memiliki karakter yang terbuka, dan spontan dalam menghadapi sesuatu persoalan. Selain itu mereka termasuk orang yang mudah bergaul, walau pun kadang – kadang mengucapkan kata yang cenderung kasar (menurut kelompok suku lain), tetapi mereka adalah orang – orang yang setia dalam persahabatan.
Pada masa lalu pernah berdiri suatu kerajaan besar bernama Kerajaan Gowa di tanah Makassar, sekitar abad 14 sampai 17. Kerajaan Gowa ini memiliki armada laut yang mampu menjelajah ke luar wilayah Sulawesi, sampai ke beberapa daerah lain di kepulauan Indonesia.
Sejarah asal – usul suku Makassar masih memiliki hubungan kerabat dengan suku Bugis. Menurut cerita, bahwa pada awalnya, suku Makassar dan suku Bugis hidup sebagai satu kesatuan suku bangsa. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, mereka terpisah dengan membentuk kelompok suku sendiri – sendiri. Sejak beberapa abad yang lalu masyarakat suku Makassar telah mengenal agama Islam, mayoritas orang Makassar adalah beragama Islam. Sejak mereka memeluk Islam segala bentuk kepercayaan agama purba mereka pun ditinggalkan.
Agama Islam telah hadir di kalangan masyarakat orang Makassar sejak berabad – abad yang lalu. Mereka adalah penganut Islam yang kuat. Agama Islam menjadi agama rakyat bagi suku Makassar, sehingga beberapa tradisi adat dan budaya serta dalam kehidupan sehari – hari suku Makassar banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya yang mengandung unsur Islami.
Masyarakat suku Makasar saat ini adalah masyarakat perkotaan, karena komunitas masyarakat suku Makassar terkonsentrasi di kota – kota. Mereka berprofesi di segala bidang mulai dari petani, nelayan, pengusaha, pedagang, guru dan berbagai bidang di sektor pemerintahan dan sektor swasta.
Tahun 1542, Antonio de Paiva seorang petualang Portugis mendarat di Siang, sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. De Paiva menyatakan ketika mendarat ia telah bertemu orang Melayu di Siang. Mereka mendiami perkampungan Melayu dengan susunan masyarakat yang teratur sejak 1490. Manuel Pinto yang mengunjungi Siang pada tahun 1545, menyatakan bahwa orang Melayu di Siang berjumlah sekitar 40.000 jiwa. Pada zaman pemerintahan Karaeng Tumaparisi Kallonna (1500 – 1545), orang Melayu sudah mendirikan pemukiman di Mangallekana, sebelah utara Somba Opu ibu kota kerajaan Gowa. Pada masa Karaeng Tunipallangga, orang Melayu mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap raja Gowa agar Mangallekana diberi hak otonomi.





Sejak kedatangan orang Melayu ke kerajan Gowa, peranannya tidak hanya sebagai pedagang dan ulama, tetapi juga memengaruhi kehidupan sosial dan politik kerajaan. Besarnya jumlah dan peranan orang Melayu di kerajaan Gowa, menyebabkan raja Gowa XII Karaeng Tunijallo (1565 – 1590) membangun sebuah mesjid di Mangallekana untuk orang Melayu, sekalipun raja belum memeluk Islam Dalam struktur kekuasaan kerajaan Gowa, banyak orang Melayu memegang peranan penting di istana kerajaan. Pada masa pemerintahan raja Gowa X (1546 – 1565), seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajau, Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar kerajaan. Sejak saat itu secara turun temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu. Jabatan penting lainnya ialah sebagai juru tulis istana. Pada masa Sultan Hasanuddin (1653 – 1669), seorang Melayu Incik Amin menjadi juru tulis istana sekaligus penyair.
Beberapa sumber menyatakan bahwa sampai tahun 1615, roda perekonomian Sulawesi khususnya perdagangan antar pulau yang melalui pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang Johor dan Pattani. Orang Melayu yang sudah bermukim di Sulawesi sejak berabad-abad lalu tetap memiliki hubungan dagang dengan negeri asalnya di tanah semenanjung dan kepulauan Riau. Sejak tahun 1511, pedagang Melayu telah membawa beras dari Sulawesi ke Malaka. Barulah pada tahun 1621, di bawah kekuasaan Daeng Manrabia Sultan Alauddin (1593-1639), orang Bugis mulai turut mengambil bagian yang penting di dunia perdagangan dan pelayaran nusantara.



Di Makassar terjadi perkawinan antara orang Pattani dengan Minngkabau, yang ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, putri Leang Abdul Kadir dengan Tuan Rajja, putra Datuk Makotta. Perkawinan ini biasa diberi gelar incek. Kemudian terjadi pula perkawinan antara orang Melayu dengan orang Bajau, yang diberi gelar kare. Perkawinan antara kare dan incek, melahirkan generasi masyarakat Melayu – Bugis yang dikenal dengan sebutan tubaji (bahasa Makassar) dan tudeceng (bahasa Bugis).
Sepanjang kurang lebih 150 tahun telah terjadi perkawinan campuran di antara para bangsawan Bugis – Makassar dengan orang-orang Melayu. Keturunannya tidak lagi menyebut diri sebagai orang Melayu, melainkan menyebut diri mereka juga sebagai orang Bugis atau orang Makassar.


B.   Struktur Dan Sistem Sosial Masyarakat Suku Bugis Makassar
1.    Struktur Sosial
Menurut Mattulada struktur sosial masyarakat Bugis tampaknya mengikuti pandangan tradisional yang berkembang dikalangan mereka bahwa asal-usul manusia Bugis berasal dari tiga alam yang berbeda. Ketiga sumber yang menjadi asal – usul manusia Bugis adalah langit sebagai representasi dunia atas (botinglangi), bumi sebagai representasi dunia (ale – kawa) dan uluriu sebagai representasi dunia bawah (paratiwi). Berdasarkan asal-usul manusia inilah maka dikalangan masyarakat terdapat lapisan-lapisan sosial sebagai konsekuensi dari pandangan tradisional mengenai asal – usul manusia tersebut. Orang yang diyakini dari keturunan dunia atas menjadi golongan arung. Ia ditakdirkan menjadi pemikir dan pemimpin masyarakat. adapun orang-orang yang diyakini berasal dari keturunan dunia bawah menjadi golongan masyarakat yang dikategorikan sebagai budak (Bugis = ata).
Umumnya masyarakat Bugis menghormati orang yang berdarah biru (keturunan bangsawan) karena menurut mereka orang yang berdarah biru adalah keturunan raja yang memerintah di masa kerajaan. Meskipun sekarang telah terjadi pergeseran karena perubahan pandangan tentang sesuatu yang dihargai oleh masyarakat untuk menentukan strata sosial seseorang tidak hanya melihat faktor keturunan tetapi hal lain dari itu misalnya materi, pekerjaan (PNS atau pegawai BUMN) maupun tingkat pendidikan (gelar kesarjanaan). Permulaan abad ke 20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu juga anak‟arung atau to-maradeka. Gelar anak arung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian.
Masyarakat Bugis yang tinggal di desa-desa di suatu kabupaten merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai, diusahakan membangun rumah membelakangi sungai. Pusat kampung lama ditandai dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (posi‟ tana).
Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo‟, toddo‟). Kepala kampung dibantu oleh sariang dan parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli di sebut wanua, pa‟rasangan atau bori.‟ Pemimpin wanua oleh orang Bugis dinamakan arung palili atau sulewatang (orangnya di sapa dengan petta sulewatang), orang Makassar menyebutnya gallarang atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan sekarang wanua sama dengan kecamatan.


2.    Relasi Sosial
Hubungan atau relasi sosial di dalam masyarakat  bermacam – macam dan terus terjadi dan terjalin terus – menerus. Salah satu bentuk relasi tersebut adalah patron dan klien (patronage). Secara etimologi istilah „patron‟ berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang berarti „seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh‟. Sedangkan klien berarti „bawahan‟ atau orang yang diperintah dan yang disuruh. Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior, atau dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, di mana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar atau extended family Setelah itu, bapak harus siap menyebar luaskan tanggung jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak buahnya tersebut secara personal, tidak ideologis dan pada dasarnya juga tidak politis. Pada tahap selanjutnya, klien membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan kepada patron adalah suatu hubungan interaksi antar anggota masyarakat yang melibatkan persahabatan instrumental.
Patron merupakan suatu strata yang lebih tinggi baik itu dari segi kedudukan ekonomi maupun sumber daya lain yang seakan memberikan segi keuntungan atau perlindungan atau keduanya kepada orang yang lebih rendah kedudukan atau klien.

James Scott mengungkapkan pemahamannya tentang hubungan patron – klien, sebagaimana berikut “Relationship in which an individual of higher socio – economis status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefits or both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal service, to the person” (suatu kasus khusus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atas kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien). Hingga kemudian giliran klien membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan termasuk jasa – jasa pribadi kepada patron”.
Jadi, yang dimaksud dengan hubungan patron – klien adalah sebuah hubungan kerja sama atau timbal balik yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang didasarkan atas perasaan saling membutuhkan antara Patron (pemberi) dan Klien (penerima). Budaya patronase atau patron-klien merupakan sebuah ciri khas dari mozaik kebudayaan di nusantara. Patron klien sebagai sebuah budaya yang bersifat emosional dan berkelanjutan yang dianut oleh sebagian besar penduduk nusantara. Budaya ini mendapat perhatian serius dari para antropolog karena masih bertahan sampai saat ini. Patron dan klien adalah suatu hubungan interaksi antar anggota masyarakat yang melibatkan persahabatan instrumental. Patron merupakan suatu strata yang lebih tinggi baik itu dari segi kedudukan ekonomi maupun sumber daya lain yang seakan memberikan segi keuntungan atau perlindungan atau keduanya kepada orang yang lebih rendah kedudukan atau klien.
Pendapat yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Pelras seorang ahli berkebangsaan Prancis, berpendapat bahwa hubungan patron-klien adalah suatu hubungan yang tidak setara, terjalin secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat dengan sejumlah pengikutnya. Lebih lanjut, Pelras mengungkapkan bahwa hubungan semacam ini terjalin berdasarkan atas pertukaran jasa, dimana ketergantungan klien kepada patronnya dibayarkan atau dibalas oleh patron dengan cara memberikan perlindungan kepada kliennya. Ikatan antara patron-klien ini merupakan kunci dalam masyarakat Bugis – Makasar di Sulawesi Selatan. Hubungan ini dikenal dengan nama “minawang”. Hubungan tersebut di kalangan orang Bugis dapat terjadi antara ajjoareng (seseorang yang menjadi panutan – bisa seorang punggawa, arung, ataupun pemuka masyarakat) dengan joa (para pengikut ajjoareng dan biasanya berasal dari golongan maradeka–merdeka).
Sedangkan pada suku Makassar, ajjoareng (para patron) tersebut adalah para karaeng atau anakaraeng, dan joa-joanya disebut ana‟-ana‟ atau taunna (orangnya). “Minawang” artinya mengikuti, yang maksudnya adalah ikatan antar mereka. bersifat sukarela dan dapat diputuskan setiap saat. Prinsip mereka dalam hubungan ini adalah golongan yang lebih tinggi memiliki kekuatan yang lebih di mata masyarakat Sulawesi Selatan umumnya. Sehingga terlihat jelas strata yang terbentuk di masyarakat ini. Setiap strata memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh masing – masing agar terjadi keseimbangan. Adapun hukum adat yang berlaku di kawasan Sulawesi Selatan adalah “bahwa golongan yang lebih rendah tidak berkuasa atas golongan yang lebih tinggi, dan ini berkaitan juga dengan soal martabat. Hal yang sebaliknya juga terjadi, yaitu makin banyak pengikut makin tinggi pula martabat seorang anakaraeng atau karaeng”.
Hubungan patron – klien tidak akan berjalan mulus tanpa ada unsur-unsur yang menyertainya, antara lain :
§  Apa yang diberikan oleh satu pihak berharga di mata pihak lain, sehingga timbul keinginan atau rasa ingin membalas pemberian tersebut.
§  Adanya hubungan timbal balik (sebagai reaksi dari unsur pertama).
§  Adanya norma dalam masyarakat yang memberi hak klien untuk melakukan penawaran, ( bila pemberian tidak sesuai boleh pindah patron).
Lebih jauh lagi James C. Scott mengungkapkan ciri – ciri hubungan patron – klien yaitu :
§  Adanya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran timbal balik.
§  Pemberian sang patron kepada klien dianggap tidak seimbang, sehingga mengikat klien untuk senantiasa loyal pada patron. Poin ini dapat menimbulkan dua kemungkinan, pertama adanya rasa saling ketergantungan yang berakibat mempererat hubungan antara patron dan klien, kedua klien melepaskan diri dari patron, karena apa yang dia terima merasa tidak sebanding dengan yang dia beri.
§  Adanya sifat tatap muka (face to face character). Pengaruh chemistry yang mempengaruhi berjalannya hubungan ini lebih dekat, lebih dari sekedar hubungan kerja sama karena ada unsur emosional di dalamnya.
§  Bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility). Hubungan tidak hanya sebatas kebutuhan saat ini, akan tetapi dapat meluas sebagai teman di waktu kecil, tetangga dan sebagainya.


Orang Makasar memiliki ungkapan untuk saling mendukung dan menguatkan antara martabat, tingkat kebangsawanan dan banyaknya pengikut dalam masyarakat Sulawesi tertulis seperti berikut :“…bahwa seorang karaeng yang baik mempunyai pengikut yang baik, sedang karaeng yang jelek, jelek pula pengikutnya”.
Hubungan patron-klien sebagai suatu hubungan yang lumrah dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Karena hubungan ini sudah masuk kedalam lingkup kebudayaan masyarakat setempat. Beberapa kasus, seorang karaeng mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pengikutnya. Dia memberikan bantuan dengan menyediakan sawah, atau tanah untuk digarap, kerbau untuk membajak, bahkan ketika klien mengalami musibah seorang karaeng memberikan pertolongan dan memberikan bantuan keuangan.
Menurut James C. Scott munculnya patron klien disebabkan oleh adanya perbedaan yang mencolok antara kepemilikan harta benda atau kekayaan, status serta kekuasaan. Keinginan untuk memperoleh keamanan pribadi di saat tidak adanya kontrol sosial yang mengakibatkan keamanannya terancam. Hasil dari hubungan kekerabatan yang tidak efektif mengakibatkan untuk memberikan perlindungan kepada individu maupun keinginan-keinginan untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan dan status strata. Patron selalu memberikan bantuan baik moril maupun materil dan sebagaimana yang seharusnya si klien akan membalas bantuan tersebut baik dengan dukungan yang umum, bantuan termasuk jasa pribadi kepada patron, akan tetapi seakan tidak akan pernah setara dengan apa yang patron berikan kepada klien tersebut.



Ada beberapa hal yang dapat membuat hubungan instrumental ini dapat selalu berjalan seperti rasa menghargai terhadap pemberian dan rasa wajib membalas untuk menghidupkan hubungan timbal balik ini serta terdapat aturan dalam masyarakat tentang penawaran klien dan mundurnya klien terhadap hubungan intrumental ini. Adanya konsep ketidakseimbangan dan ketidaksamaan antara kedudukan dalam pertukaran yang menyebabkan hubungan ini memberatkan si klien karena ia akan tetap terikat kepada patronnya karena pengaruh ketidak setaraan. Serta tatap muka langsung dan bagaimana jangkauan patron dalam memperoleh klien ini yang ada disekitar menjadi ciri khusus gejala patron klien ini. Selain kondisi diatas, hubungan kota dan desa yang tidak lancar mendukung patronase ini, pihak yang memiliki akses ke kota menjadi orang yang yang diatas kedudukannya, karena dia yang sering diminta pertolongannya anggota masyarakat yang lain.


3.    Stratafikasi Sosial
Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat biasanya dianggap sangat penting untuk mencari latar belakang pandangan hidup, watak dan sifat-sifat, berdasar dari suatu masyarakat. lebih jauh dari itu akan dapat diungkapkan hubungan-hubungan kejadian dalam masyarakat yang menyangkut tingkah laku segenap kegatan dalam masyarakat, termasuk kegiatan dan tingkah laku politiknya. Sistem lapisan masyarakat tersebut dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Kata stratification berasal dari kata stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan).
Seorang sosiolog terkemuka yaitu Pitirim A Sorokin mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap ada dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya memiliki sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat memiliki kedudukan yang rendah. Di antara lapisan atas dan yang rendah, ada lapisan yang jumlahnya dapat ditentukan sendiri oleh mereka yang hendak mempelajari sistem lapisan masyarakat. Sorokin mendefenisikan staratifikasi sosial senagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas yang tinggi dan kelas yang lebih rendah.
Bentuk – bentuk lapisan masyarakat tersebut banyak, namun secara sederhana dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu stratifikasi berdasarkan ekonomis, politis dan    jabatan – jabatan tertentu dalam masyarakat. ketiga dasar stratifikasi tersebut satu sama lain saling berhubungan misalnya orang tertentu atas dasar ekonomis memiliki kekayaan yang banyak dilain pihak umumnya juga menduduki jabatan – jabatan tertentu dalam masyarakat dan biasanya ia juga mempunyai kekuatan dalam bidang kebijakan (berdasar politis). Lapisan – lapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya atau sengaja di susun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan terjadinya lapisan – lapisan dengan sendirinya antara lain adalah tingkat umum (senior), kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, juga mungkin kekayaan. Alasan yang dipakai tiap – tiap masyarakat mungkin saja berbeda, misalnya pada masyarakat yang hidupnya berburu, alasan utama yang dipakai dalam pelapisan masyarakat adalah kepandaian berburu. Sedangkan pelapisan sosial yang sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal, seperti pemerintah atau perusahaan.
Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial, halnya tidaklah demikian. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat. Dilihat dari sifatnya, pada dasarnya stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu stratifikasi sosial tertutup (close social stratification) dan sratifikasi sosial terbuka (open social stratification). Stratifikasi sosial tertutup bercirikan sulitnya seseorang untuk berpindah dari satu lapisan ke lapisan lain. Tanda/lambing – lambang yang merupakan ciri yang khas.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk bermasyarakat. Manusia selalu hidup bersama dan berada di antara manusia lainnya, dalam bentuk konkritnya, manusia bergaul, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Keadaan ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat dorongan untuk hidup bermasyarakat disamping dorongan keakuan. Dorongan bermasyarakat dan dorongan keakuan yang mendorong manusia bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri.19 Interaksi seorang individu dengan individu yang lain kadangkala membawa misi dan kepentingan sendiri namun ia harus membatasi kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan orang lain agar tidak terjadi konflik atau pertentangan yang akhirnya mengarah pada missosialisasi. Norma-norma sosial dibutuhkan untuk membatasi dan menekan kesenjangan pada tingkat serendah mungkin. Kepatuhan terhadap norma ini merupakan sikap pernyataan seseorang untuk mengintegrasikan dirinya pada masyarakat. Penciptaan suasana kemasyarakatan yang lebih baik dapat dilakukan dengan pembinaan pada diri individu masing-masing, membina anggota keluarganya, dan membina lingkungan yang terdekat dengannya, sebab suatu masyarakat terdiri atas sejumlah satuan individu sehingga setiap individu akan dipengaruhi oleh masyarakat dalam pembentukan pribadinya dan sebaliknya masyarakat dipengaruhi oleh individu, bahkan dalam konteks masyarakat di anggap bahwa masyarakat dan individu berkomplementer satu sama lain. Salah satu faktor penentu terwujudnya masyarakat yang baik adalah apabila setiap individu dalam masyarakat tersebut memahami dan menyadari hak dan kewajiban masing – masing. Namun demikian seseorang hendaknya lebih mendahulukan pelaksanaan kewajibannya daripada menuntut akan haknya. Sebab menuntut akan hak sebelum melaksanakan kewajiban dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam masyarakat.
Setiap manusia pada dasarnya memiliki hak yang sama dan memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Namun di sisi lain, dari aspek sosial, seseorang akan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda apabila mereka menempati posisi yang berbeda pula, hal ini ditentukan oleh status sosial seseorang di masyarakat. Perbedaan status akan menyebabkan perbedaan peran, misalnya status sebagai seorang dosen memiliki peran yang berbeda dengan status sebagai seorang mahasiswa.
Arti status dalam kamus bahasa Indonesia adalah kedudukan orang, badan, negara dan sebagainya. Menurut P. Soedarno status yang biasa diterjemahkan kedudukan adalah tempat seseorang dalam hubungannya dengan orang-orang lain dalam masyarakat, yang akan memberi hak – hak serta kewajiban-kewajiban tertentu kepada individu yang menempati kedudukan tersebut. Secara abstrak kedudukan itu berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang mempunyai bebrapa kedudukan karena orang itu, ikut serta dalam berbagai pola kehidupan. Pengertian ini menunjukkan tempat seseorang di dalam kerangka masyarakat secara keseluruhan. Kedudukan masyarakat A misalnya sebagai warga merupakan kombinasi dari segenap kedudukannya sebagai guru, kepala sekolah, ketua rukun tetangga, sebagai suami nyonya B atau sebagai ayah dari anak-anaknya.
Pelaksanaan peran yang penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan kedudukan mereka maka akan mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang teratur dan harmoni. Masyarakat diibaratkan seperti tubuh manusia, bila salah satu organ tubuh mengalami gangguan atau sakit maka bagian yang lain akan turut merasakan akibatnya. Setiap organ tubuh memiliki bentuk, fungsi dan peran yang berbeda, namun seluruh organ itu adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki peran yang berbeda dan tidak berfungsinya salah satu diantara keseluruhan akan menimbulkan dampak bagi keseluruhan. Terdapat banyak status atau kedudukan di dalam masyarakat sebagai suatu sistem yang membentuk hierarki status. Status tertentu hanya mempunyai arti dan baru bisa dimengerti apabila dikaitkan dengan status-status lain yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Berbagai status yang berbeda secara berjenjang menimbulkan social rank atau jenjang derajat sosial. Berdasarkan cara status itu didapatkan oleh warga masyarakat, maka status itu dibedakan menjadi :
§  Ascribed status
Status ini didapatkan oleh seseorang bukan karena usaha, melainkan karena pengaruh adat dan kebudayaan yang berlaku, atau corak masyarakat, misalnya masyarakat feodal. Istri pejabat secara otomatis akan mengikuti kedudukan suami ; anak seorang ningrat dengan sendirinya akan mendapat hak-hak seperti yang dinikmati oleh orang tuanya ; seorang warga kasta sudra mendapat kedudukan rendah demikian semata-mata karena orang tuanya tergolong kasta yang rendah ; Tini tidak melanjutkann sekolah seperti kakaknya karena dia wanita.
Umumnya ascribed status dijumpai dalam masyarakat tertutup yang berlapis-lapis (feodal) atau berlapis-lapis karena perbedaan rasial. Namun adakalanya ascribed status tersebut terdapat juga pada masyarakat berlapis yang terbuka. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya kedudukan seorang laki-laki dalam satu keluarga, yang berbeda dengan kedudukan istri dan anak-anaknya. Laki-laki atau suami dengan sendirinya menjadi kepala keluarga, tanpa harus mempunyai bangsawan atau warga suatu kasta seperti dikemukakan di atas. Sekaitan hubungan ini perlu di catat bahwa kendatipun sekarang ini terdapat persamaan di hampir segla bidang kehidupan, namun kedudukan seorang ibu tidaklah sama dengan kedudukan seorang ayah dalam keluarga.




§  Achieved status (Status yang dicapai dengan usaha)
Kedudukan ini dicapai oleh seseorang berkat jerih payah atau usahanya sendiri, kedudukan macam ini bersifat terbuka bagi siapa saja, asal mampu memenuhi persyaratan yang dituntut oleh kedudukan tersebut, contoh kedudukan sebagai dokter, kedudukan ini sebetulnya terbuka bagi siapa saja, asalkan mampu memenuhi persyaratan yang di tuntut oleh profesi tersebut. Pemenuhan persyaratan dikembalikan kepada bersedia atau tidaknya seseorang mengusahakan.
Sistem yang demikian ini dapat kita temukan misalnya dalam masyarakat di Indonesia sekarang ini. setiap orang diberi kesempatan ini untuk menduduki segala jabatan bila ada kesempatan dan kemampuan untuk itu, tapi seseorang juga dapat turun dari jabatannya bila dia tidak mampu mempertahankannya. Sistem pelapisan ini disebut sistem pelapisan masyarakat terbuka. Dalam hubungannya dengan pembangunan masyarakat, sistem pelapisan masyarakat yang terbuka sangat menguntungkan sebab setiap warga di beri kesempatan untuk bersaing dengan yang lainnya. Seseorang berusaha untuk mengembangkan segala kecakapannya agar dapat meraih kedudukan yang dicita-citakan. Demikian sebaliknya bagi mereka yang tidak bermutu akan semakin didesak oleh mereka yang cakap, sehingga yang bersangkutan bisa jadi jatuh ke lapisan sosial yang lebih rendah. yang di tuntut dan diberikan oleh kedudukan sosial yang ditempatinya.





Sering terjadi dalam masyarakat bahwa peranan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan harapan atau role expectation yang dirasakan oleh masyarakat. Ketidakmampuan untuk berperan sesuai dengan harapan masyarakat bisa menimbulkan rasa tertekan (role stain) pada diri pemeran atau sebaliknya bila dia justru nekat, maka akan menerima sanksi – sanksi sosial tertentu dari masyarakat.
Stratifikasi sosial, status dan peranan selalu ada dalam kehidupan sosial masyarakat. Setiap masyarakat senantiasa memberikan penghargaan tertentu terhadap hal-hal yang tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian juga masyarakat di Sulawesi Selatan. Stratifikasi masyarakat telah ada sejak zaman kerajaan. Pada zaman kerajaan, di kenal dua kategori orang kebanyakan : orang baik – baik (tau deceng) dan orang „merdeka‟ (tau maradeka). Orang baik-baik keturunan dari tau matoa kalangan orang kebanyakan, ulama terkemuka, atau orang-orang yang kadar kebangsawanannya telah cukup pudar sehingga tidak termasuk lagi dalam kategori kebangsawanan.  Orang kebanyakan umumnya tidak menjaga kemurnian dan keberlanjutan silsilah, dan umumnya akan kehilangan jejak hubungan mereka dengan kerabat yang lebih jauh dari sepupu dua kali. Kerabat jauh cukup puas mengetahui mereka memiliki leluhur yang sama. Pengetahuan tentang orang-orang yang mempunyai indikasi keturunan budak disampaikan kepada orang lain dengan sangat hati-hati ; orang-orang merdeka khususnya orang baik-baik terus menghindari pernikahan dengan orang-orang dari kalangan ini.




C.   Kebudayaan Masyarakat Suku Bugis Makassar
Berbicara tentang kebudayaan Bugis Makassar Ada beberapa hal yang bisa memberikan gambaran tentang budaya orang Bugis, yaitu konsep ade, siri’na pesse dan simbolisme atau ciri khas pakaian orang bugis adalah sarung sutra.
1.    Konsep adat istiadat suku Bugis Makassar  (ade‟). Ade‟ dalam bahasa Indonesia yaitu adat istiadat. Bagi masyarakat Bugis Makassar , ada empat jenis adat yaitu :
a.    Ade maraja yang dipakai dikalangan raja atau para pemimpin.
b.    Ade puraonro yaitu adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat secara turun temurun.
c.    Ade assamaturukeng peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan.
d.    Ade abiasang adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam masyarakat.
2.    Bagi manusia Bugis Makassar “siri’napesse” adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan dan membela siri yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis Makassar bersedia mengorbankan apa saja termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri’napesse dalam kehidupan mereka. Di zaman ini siri’ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri„ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan – tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri„ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri„ harus dipertahankan pada koridor ade„ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya. Sesungguhnya seorang manusia Bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai – nilai ade’ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat panngadereng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
1.    Adat Pernikahan
Pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan pesta perkawinan merupakan hal yang membahagiakan bagi semua orang terutama bagi keluarga dan orang – orang di sekitarnya. Di Sulawesi Selatan terdapat banyak adat perkawinan sesuai dengan suku dan kepercayaan masyarakat. Bagi orang Bugis-Makassar sebelum melaksanakan lamaran dilakukan pendekatan kepada orang tua/gadis yang akan di lamar (mammanu – manu‟), Kemudian satelah itu dilaksanakan proses melamar atau “assuro” (Makassar) dan “madduta” (Bugis). Jika lamaran diterima, dilanjutkan dengan proses membawa uang lamaran dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta perkawinan oleh pihak wanita ini disebut dengan “mappenre dui” (Bugis) atau “appanai leko caddi” (Makassar).
Pada saat mengantar uang lamaran kemudian ditetapkan hari baik untuk acara pesta perkawinan yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Sehari sebelum hari “H” berlangsung acara “malam pacar” mappacci (Bugis) atau “akkorontigi” (Makassar), calon pengantin baik pria maupun wanita (biasanya sudah mengenakan pakaian adat daerah masing-masing) duduk bersila menunggu keluarga atau kerabat lainnya datang mengoleskan daun pacar ke tangan mereka sambil diiringi doa-doa untuk kebahagiaan mereka.
Keesokan harinya (Hari “H”), para kerabat datang untuk membantu mempersiapkan acara pesta mulai dari lokasi, dekoasi, konsumsi, transportasi dan hal – hal lainnya demi kelancaran acara. Pengantin pria diberangkatkan dari rumahnya (mappenre botting = Bugis/appanai leko lompo = Makassar) diiringi oleh kerabat dalam pakaian pengantin lengkap dengan barang seserahan „erang – erang‟ menuju rumah mempelai wanita. Setibanya di rumah mempelai wanita.            
Pernikahan pun dilangsungkan, mempelai pria mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu disaksikan oleh keluarga dan kerabat lainnya. Setelah proses pernikahan selesai, para pengantar dipersilakan menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar pulang dan mempelai pria tetap di rumah mempelai wanita untuk menerima tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat dan menyaksikan acara pesta perkawinan. Pada acara pesta perkawinan biasanya meriah karena diiringan oleh hiburan organ tunggal atau kesenian daerah lainnya. Keesokan harinya, sepasang pengantin selanjutnya diantar ke rumah mempelai pria dengan iring-iringan yang tak kalah meriahnya. Selanjutnya, rumah mempelai pria berlangsung acara yang sama (bahasa Bugis disebut „mapparola‟).


















2.    Adat Berpakaian
Baju bodo adalah baju adat Bugis – Makassar yang dikenakan oleh perempuan. Sedangkan lipa' sabbe adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo. Konon dahulu kala, ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo. Masing – masing warna menunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.
§  Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun
§  Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10 – 14 tahun.
§  Warna merah darah untuk 17 – 25 tahun.
§   Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.
§  Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
§  Warna ungu dipakai oleh para janda.
Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis – Makassar yang mengenakan baju bodo sebagai pakaian pesta, misalnya pada pesta pernikahan. Akan tetapi saat ini, baju adat ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simple dan mengikuti trend. Walau dengan keterpinggirannya, Baju bodo kini tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passeppi'-nya (pendamping mempelai, biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu (pajjempu/padduppa tamu).





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari unsur – unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing – masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat. Suku Bugis Makassar merupakan sebuah suku yang kaya akan kebudayaan abstrak maupun kebudayaan konkrit. Persentase jumlah penduduk suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah sekitar 62,5% dan suku Makassar sekitar 26,7%.
Sistem kekerabatan dalam kebudayaan Bugis Makassar masih cukup kental, lapisan masyarakat Bugis dan Makassar terdiri dari 3 yaitu anak arung atau lapisan kaum kerabat    raja – raja, tomaradeka atau lapisan orang merdeka, dan ata atau lapisan orang budak.
Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Kemudian ada sisi seni juga yang biasanya menjadi mata pencarian bagi suku Bugis Makassar, yakni pembuatan sarung tenun sutra. Bahasa yang diucapkan oleh suku Bugis disebut bahas ugi sementara suku Makassar disebut mangkasara dan hurufnya yaitu aksara lontarak.

B.   Saran
Untuk para generasi penerus sebaiknya memahami dan mempelajari sosial dan kebudayaan masyarakat suku Bugis Makassar karna syarat akan makna dan nilai – nilai yang akan bermanfaat apabila diterapkan dalam kehidupan sehari – hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ashar, “Eksistensi Sara” dalam Pangngadereng bagi Orang Bugis Makassar, Majalah Somba Opu Th. I No. 2, Ujung pandang : Depdikbud Ditjenbud SPSP Prop. Sul-Selra, 1996.
Abbas, Irwan & Mappanganro Suriadi, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Makassar : Lamacca Press, 2003.
Farid, Zainal Abidin, Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang : Hasanuddin University Press, 1999.
Farid, Zainal Abidin, Lontara Sebagai Sumber Sejarah Terpendam (Masa 1500-1800), Makassar : Lembaga Penelitian Hukum, UNHAS, 1980.
Hamonic, Gilbert, Nenek Moyang Orang Bugis, Makassar, Pustaka Refleksi, 2008.
Mattulada, Latoa Satu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis, Ujung Pandang : Hasanuddin University Press, 1995.
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah 1510-1700, Ujung Pandang : Bhakti Baru Berita Utama, 1982.
Mattulada, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang : Lembaga Penerbitan UNHAS, 1998.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Most Read